Setelah keliling di Kagbeni, dapat dipastikan penduduk di Kagbeni bergantung pada pertanian, walaupun ladangnya tidak besar, dan hanya cukup untuk satu perkampungan tersebut. Mereka menanam gandum dan millet, beberapa keluarga juga berternak kambing dengan bulu yang panjang. Di Mustang area, etnis penduduknya adalah Thakali dan Tibetan Gurung, mereka percaya pada Tibetan Buddhism. Etnis yang sama juga dapat dijumpai di Muktinath.
Di Kagbeni ada satu monastary kuno, Tibetan Monastry bernama Kag Chode Thupten Samphel Ling Monastery. Monastery ini berdiri tahun 1429, 500an tahun yang lalu oleh Great Lama Tenpai Gyaltsen of Tibet. Walaupun umurnya sudah sangat tua, koleksinya sungguh luar biasa. Gambar patung – patung Buddha kuno masih sangat bagus, walaupun ada beberapa koleksi yang tidak bisa dipertahankan dan tidak dapat direstorasi. Tulisan doa kitabnya pun masih terselamatkan. Monastery ini sangat menggambarkan betapa Kerajaan Mustang jaman dahulu sangat erat kaitannya dengan Tibetan Buddhism. Kag Chode Thupten Samphel Ling Monastery, sempat dihentikan kegiatan spiritualnya karena kekurangan dana dan tidak adanya leader yang kompeten. Beruntung kami mendapatkan guide yang dapat berbahasa inggris dengan sangat baik. Dia adalah seorang mahasiswa asal Jepang. Sayang tidak boleh mengambil foto di dalam Kag Chode Thupten Samphel Ling Monastery.
Konon sebelum tahun 1950an, penduduk Tibet menganggap Tibet sebagai negara sendiri, mereka bebas masuk ke area Tibet ataupun Nepal (sekitar Himalaya). Mereka mempunyai pemimpin sendiri, mata uang sendiri, dan melakukan ritual keagamaan yang berbeda dengan yang berada di China, sementara sekolah China mengajarkan kepada siswanya bahwa Tibet merupakan wilayah kesatuan China. Tibet mempunyai batas wilayahnya sendiri, batas buatan Tuhan, bukan buatan manusia. Secara geografis Tibet berada di atap dunia, dan itu merupakan wilayah terbaik untuk sebuah negara. Akan sulit untuk musuh menaklukan Tibet, karena sekuat apapun tentara dan kuda – kuda mereka, mereka tidak akan sanggup sampai ke area tinggi dalam waktu semalam. Mereka akan mati dengan sendirinya karena melawan alam. Sehingga dapat dikatakan bahwa Tibet tidak memerlukan baju perang di negaranya. Hidup makmur, sejahtera, dan tidak dipengaruhi dunia luar. They call it “Shangri-la”. Sampai suatu hari pemimpin China Mao Zedong atau Chairman Mao dan pasukannya sampai di Tibet, mengambil alih negara “Shangri-la” mencoba mengeksploitasi alamnya dan dia pula yang menyebabkan Dalai Lama muda terasingkan ke Dharamsala, India.
Karena hidup dengan perbedaan ideologi dan penindasan, tahun demi tahun banyak pengungsi Tibet pergi ke perbatasan Himalaya dan menetap di Nepal. Mengetahui hal tersebut, China mulai untuk menutup semua perbatasan terutama Nepal, wilayah ini merupakan perbatasan terpanjang di tanah Tibet. Namun Nepal adalah negara miskin. Mereka hidup dibawah bayang – bayang China yang kaya raya. Permintaan China ke pemerintah Nepal pastiny selalu dikabulkan. Bahkan ada yang bilang, kedutaan China di Nepal lebih kuat dari pada kedutaan Amerika. Tibetan di China menjadi minoritas, ritual keagamaan dilarang, kalaupun ada, itu hanya sisa, dan hanya didisplay untuk turis. Entah berapa banyak Tibetan Monastery yang dihancurkan pemerintah China di negaranya, dan entah berapa juta dollar dana yang terhenti karena pemerintah China tidak memperbolehkan pemerintah Nepal untuk membantu para pengungsi Tibet serta merenovasi tempat ibadah mereka. Kag Chode Thupten Samphel Ling Monastery-pun hidup dengan uang mereka sendiri, mendapatkan donasi turis dari berbagai negara secara langsung, tidak dari pemerintah Nepal.
Berbicara dengan para Refugee Tibet dan beberapa Guide tentang hal ini membuat saya berfikir 10x untuk jalan – jalan ke Tibet Autonomous Region. Untuk apa saya pergi ke wilayah bekas Shangri-la itu dengan membayar permit mahal dan susah payah harus membawa 5 orang rombongan, tetapi uang dari permit tersebut tidak pernah masuk ke kantong penduduk lokal. Sempat berfikir bahwa berfoto di depan Potala Palace (Istananya Dalai Lama) sambil bilang cheese bak di Disneyland sementara para pengungsi Tibet memberitahu bahwa tempat itu merupakan Holy Land mereka untuk beribadah yang impossible sekali untuk bisa ke sana lagi. Atau ramai – ramai mengambil foto penduduk lokal tibet yang miskin tanpa “berterimakasih dengan apapun” bagaikan melihat pertunjukan di human zoo.
***
Kagbeni – Jharkot – Muktinath
Perjalanan hari ke – 2 saya (hari ke-2 trekking) dimulai setelah sarapan tibetan bread di New Asia Guest House, sambil menikmati pemandangan Nilgiri Peak di luar jendela. Setelah mencabut beberapa charger kamera dan handphone kami langsung berpamitan dengan yang punya hostel dan kembali berjalan seiring dengan angin. Angin pagi itu kencang sekali, dan dingin.. Kagbeni – Muktinath berarti mendaki 1 km. Karena ketinggian Kagbeni 2800 mdpl sedangkan 3800 mdpl. Kami juga sudah diwanti – wanti jikalau merasa pusing, mual, ataupun sesak napas harap memberi tahu guide kami.
Baru 2 menit keluar dari hostel, trekny sudah 75 derajat.. alamak.. sakit perut saya.. belum juga pemanasan. Trekking pagi hari sangat menarik, karena banyak orang yang sudah memulai hari nya berangkat kerja. Dan banyak sekali pekerja yang mengambil batu di tebing, tanpa peralatan keamanan. Laki – laki dan perempuan. Di sini kalau mau bicara tentang kesetaraan gender, tidak ada gap diantara mereka. Pekerjaan memecah batu, meladang, dan memanggul batu juga dikerjakan oleh wanita.
Hari semakin siang dan semakin panas, angin juga makin kencang. suhu maksimum siang hari kira – kira 18 – 20 derajat. Lumayan untuk pakai windbreaker. Trek hari ini benar – benar menguras tenaga karena berjalan dari bukit ke bukit. Entah berapa bukit yang kami lewati. Di sepanjang perjalanan tidak ada rumah penduduk. Jadi memang dry landscape dan kami berjalan sepanjang bukit, gersang dan berdebu.
Beberapa kali kami bertemu traveller yang menggunakan mountain bike. Kawasan ini banyak dilalui dengan sepeda. Karena treknya yang tidak terlalu tinggi dan rata – rata adalah Nepali flat. Ingat ya, Nepali flat!!
Setelah kira – kira 3 jam perjalanan, langkah sudah semakin berat, apalagi trekkny yang lumayan naik, dan ternyata banyak juga traktor yang lalu lalang. Saya langsung bilang ke Sagar, guide saya, cuy.. gw capek nih, lo tanyain donk sama itu abang traktor, kita boleh numpang ngga ?? dan akhirnya sambil duduk2 nunggu si abang traktor lewat dan dia bilang, boleh.. naik aja.. gw cm bawa semen, emang ngga takut kotor?? .. tanpa berfikir lama akhirnya kita semua naik traktor, ihiww…
Kami naik traktor sampai ke rumah singgah sebelum sampai Jharkot. Banyak tukang – tukang traktor berhenti di sana untuk istirahat. Di sana juga saya bertemu bocah perempuan bermuka Tibetan, bermata coklat dan berambut pirang. Dan senangnya, dia bisa bahasa inggris sedikit – sedikit. Saya bertanya di mana saya bisa buang sampah? dia bilang di dapur.. , Dia meminta permen pada saya, tapi saya tidak punya. Dan saya dilarang untuk membawa permen dan memberikan ke anak – anak di sekitar Jomsom, karena permen cepat sekali merusak gigi anak, dan di sana tidak ada dokter gigi. Akhirnya saya berikan Tibetan Bread yang saya bawa dari Guest House pagi itu.
Dari rumah singgah pinggir jalan, Jharkot sudah terlihat, katanya butuh waktu 45 menit ke sana. Nyatanya 1.5jam. Capek juga bo! padahal Nepali Flat loh, Suasana Jharkot hamir sama dengan desa – desa yang lain. Tidak ramai, malah cenderung sepi, beberapa rumah mempunyai kompor tenaga surya, modelnya seperti parabola besar, lalu di tengahnya ditaruh panci untuk memasak. Kami tidak tinggal lama di Jharkot, cukup hanya makan siang saja sambil ngobrol2 dengan traveller dari Brazil yang sudah keliling Indonesia, kemudian istirahat sebentar. Cuaca pegunungan cepat sekali berubah. Waktu sampai di Jharkot, suhu agak panas saya masih memakai windbreaker, dapat 30 menit, suhu turun drastis. Kamipun yang tadinya duduk – duduk di teras memilih makan di ruang makan. Setelah makan, suhu tambah dingin sampai kami harus menggunakan sarung tangan. Karena mengejar waktu, kami pun menuju Muktinath, kira – kira masih 1.5jam lagi.
Tertatih – tatih, tanjakan makin curam, angin makin kencang dan berdebu, angin dingin mulai juga menghampiri. tapi pemandangan sangat indah, karena kami berada di perut gunung. Trek Jomsom – Muktinath ini sebenarnya mudah, kl kamu capek, tinggal lambaikan tangan ke kuda ataupun jeep yang wara wiri sepanjang jalan sebagai tanda menyerah. Kami sempat duduk – duduk di pinggir jalan sambil memperhatikan keluarga di sana. Rata – rata keluarga di sana berpakaian lusuh, kotor, rambut kotor, kulit kotor, dan pipi merah terbakar. Saya tanya kepada Sagar (Sagar means Ocean, bagus ya namanya), Cuy, orang orang di sini kalo mandi berapa kali sehari ? Dan dia bilang, di sini orang mandi tidak tiap hari, tapi pasti mereka tiap hari cuci muka dan beberapa bagian seperti tangan dan kaki. Selain dingin, air di sini juga susah, ditambah lagi bahan bakar juga susah, sehingga sulit juga untuk membuat air panas. Tapi minimal 1 bulan sekali, mereka mandi besar. Tp walaupun mandi besar dalam waktu 10 menit mereka akan kotor lagi, karena lingkungan mereka berdebu dan pekerjaan mereka juga berpeluh debu. Mereka juga kadang kekurangan sabun, oleh karena itu setiap pergi ke sini usahakan bawa sabun untuk dibagikan ke beberapa keluarga. (ingat ya.. bawa sabun!!).
Kurang dari 2 jam, akhirnya saya sampai di Muktinath, langit mulai gelap.. bukan terbenam matahari, tp sepertinya akan hujan. Sampai di Muktinath, saya langsung terpesona dengan pernah pernik yang mereka dagangkan. Displaynya kotor, mungkin bagi beberapa orang tidak menarik. Bahkan ada beberapa anting ataupun gelang yg sudah karatan. Tp saya menemukan kalung yg saya suka, sebuah pendant terukir Buddha eyes dan terbuat dari tulang yak.. simple dan sacred. Akhirny saya bayar 150rs, dan langsung saya pakai. Akhirnya Buddha eyes tersebut terpasang di leher saya bersama dengan pendant Ganesha yang saya beli di Bhaktapur. Dua “Dewa” penting yang dikagumi di Nepal, semoga perjalanan saya selamat sampai akhir bersama Mereka.
4eqc27
xcy3df
9afoxo
r6faf9
pigtkl