Banyak yang maju mundur pergi ke negara ini. Katanya negaranya tidak seindah film bollywoodnya. Saya? apalagi yang membuat saya mengunjungi suatu negara kl bukan pertimbangan culture dan people. Walaupun sebagian besar yang saya cari sudah saya dapatkan di Nepal, namun tetap saja, India adalah induk dari kebudayaan yang ada di negara landlock country itu.
Orang bilang, India adalah hitam dan putih, tidak ada abu – abu. Efek dari travelling ke sana cuma ada 2, cinta banget, atau benci banget, ngga ada yang setengah – setengah. Tadinya saya berencana untuk merayakan Diwali di Amritsar, tapi apa mau dikata kalau tripnya mundur karena tragedi pemecahan kaca mobil sang travelmate yang mengakibatkan hilangnya tas berisi paspor, visa dll tepat 3 hari sebelum keberangkatan kami ke Nepal. Ya, saya akan pergi ke India selepas open trip Nepal di bulan October. (join our trip to Nepal 2018)
Duduk di sisi kanan pesawat dari Kathmandu menuju Delhi, ternyata merupakan pengalaman tersendiri. Jejeran pegunungan himalaya dari beberapa range terlihat sempurna. Dimulai dari Langtang Lirung dan teman temannya, hingga range dari Annapurna. Senangnya melebihi jumpa artis idola, bayangkan gunung – gunung yang sebelumnya saya lihat dari darat yang keberadaanny selalu ditunggu semua traveller, ternyata bisa saya jumpai kembali di udara. Rasanya Tuhan benar – benar merestui perjalanan saya ke India.
Tujuan pertama kami adalah Leh. Bukan suatu rekomendasi yg baik untuk pergi ke Leh di bulan October. Leh yang berada di Ladakh region mempuyai ketinggian 3400 mdpl, jadi kalau malam lumayan semiriwing seperti Namche Bazar. Beberapa teman juga sudah mewanti wanti, jangan pergi, hotel sudah banyak yang tutup, restoran juga sebagian besar tutup. Tapi saya keukeuh untuk berangkat, saya yakin autumn diketinggian 3000 meter, langit akan sangat cerah. Kathmandu juga saat itu masih sangat panas, saya yakin winter time akan mundur. Akhirnya saya transit 1 malam di Delhi. Lalu melakukan perjalanan keesokan harinya ke Leh. Kami memutuskan tidak ke tengah kota Delhi. Keputusan yang sangat baik sebelum Leh menjadi terlalu dingin. “Kiita ngga akan tau apa yang akan terjadi di Leh, yang penting pergi dulu. Kalau kiranya dingin dan tidak memungkinkan kemana – mana, ya kita pulang lagi aja, paling cuma rugi ongkos. Bagusnya saat itu tiket pesawat Leh – Delhi PP cm 1jt. Jadi, just go.. just go!!!”
Akhirnya pesawat membawa kami ke Kushok Bakula Rinpoche Airport, pemandangan di atas pesawat juga luar biasa indahnya, pegunungan Himalaya yang tidak berujung, menjulang dengan ribuan puncak dihiasi salju. Kami duduk di sisi kanan pesawat, sepertiny memang posisi paling sempurna untuk melihat Himalaya. Sesaat sang pilot menyebutkan nama – nama gunung yang tampil menghias langit. Saya yang tidak pernah mempelajari Ladakh Range, tentu saja merasa asing dengan namanya, sampai akhirnya si pilot menyebutkan “K2”, the 2nd highest mountain in the world yang letaknya berada di Pakistan. Ya, pesawat ini memungkinkan kami untuk melihat gunung legendaris itu, tp bukan untuk saya. Karena posisi gunung berada di sisi kiri pesawat.
Turun di Ladakh Region bagi saya bukan pemandangan yang asing. Masih masuk di pegunungan Himalaya, kontur tanah sama persis seperti Mustang Nepal, ataupun Shigatse Tibet. Kebudayaannya juga sama, agamanya sama, makanannya sama. Yang berbeda, hanya letak negaranya, dan bahasa (Local Ladakh). Tibetan Himalaya hidup nomaden berdasarkan musim. Mendirikan beberapa monastery dan tinggal di sekitar. Hidup nomad inilah yang menyebabkan para ancestornya menapaki Ladakh Region di India. Seiring berjalannya waktu dan pemetaan negara, menyebabkan mereka naturalisasi lalu diwajibkan berbahasa Hindi, walaupun sebagian dari mereka masih mampu berbicara bahasa Tibet dengan fasih. “Ladakhi, we are Ladakhi”, mereka tidak mau disebut Indian.
Ladakh! Saya melihat jalanan yang luas, kontur tanah kering dengan beberapa pohon yang sengaja ditanam untuk penghasil oksigen, lampu lampu jalan yang terawat, pasar yang ramai, memang pertumbuhan ekonomi lebih baik dibandingkan kawasan senegara di central India sana. Dan yang paling menyenangkan adalah, mereka masih bisa menaruh foto laki laki berkepala botak dengan senyumnya yang lebar, mengalungkan bunga di fotonya, dan memberikan lilin disekeliling sebagai tanda hormat kepada sang spiritual leader mereka, HH Dalai Lama. Padahal di 500 km ke arah barat, pemandangan seperti ini tidak akan pernah terjadi. Resikonya tidak tanggung – tanggung, bisa kehilangan nyawa.
India tidak main main membangun negaranya hingga ke pelosok. Membangun Ladakh tidak mudah, kawasan pegunungan di atas 3000 meter, terplot motorable road hingga the highest point Khardungla, dengan ketinggian 5800 meter. Jalanan mulus berkelok, dengan penjagaan ketat, maklum India dikelilingi batas negara yang cukup pasang badan. Sebut saja Pakistan dan China. India dan Pakistan masih mempunyai batas tak jelas atas pembagian jatah di tanah Kashmir. Sedangkan China, India dengan terbuka sangat welcome atas pengungsi Tibet hasil dari China Invation ke Tibet tahun 1964 lalu. Di Ladakh, saya menemukan kebebasan. Kebebasan beragama, Ladakhi yang mostly Buddhist, hidup berdampingan dengan para muslim Kashmir, Sunni Kashmir berdampingan dan Syiah Kashmir, pendatang Hindu dari Uttar Pradesh juga turut menyemarakkan kebebasan beragama, bahkan gereja juga berdiri di dekat Leh Market. Pengemis homeless jarang sekali terlihat di sini, mungkin mereka sudah pasrah turun gunung, karena Ladakh sudah akan masuk winter. Kalau tidak turun sekarang, malah tidak bisa turun gunung karena jalan sudah tertutup salju.
October di Leh, memang sudah sepi. Pagi hari suhu berkisar 0 hingga 2 derajat. Beberapa restoran sudah tutup, hotel tutup, tour operator tutup. Tapi tourist masih terlihat mondar mandir. Bagi saya Leh seperti ini sudah lebih dari cukup. Jalanan sepi, suhu tidak seperti di negara sendiri. Selama saya masih bisa makan enak, bisa ngopi di sudut kafe jalan, masih bisa ngobrol dengan orang local, ya itulah travelling saya. Saya tidak perlu narsis narsis di landmark foto lalu posting di Instagram biar semua orang tau, saya tidak perlu mengikuti penjelasan buku lonely planet. Just feel what you see then go deeper to know more.
2 hari pertama saya hanya disibukkan dengan acara tidur – tiduran. Istilahnya aklimatisasi. Maklum, saya datang dengan pesawat dan turun di ketinggian 3400 meter di atas permukaan laut. Belum lagi udara sudah mulai dingin. Jadi kerjaan saya hanya bolak balik ke Leh Old Market, dan Old Town. Melihat – lihat sekeliling, menjajal makanan local, dan mengobrol dengan Ladakhi ataupun Kashmiri. Leh dengan mayoritas Buddhist ternyata mempunyai pemerintahan yang jauh di Kashmir. Rasanya mereka sudah menerima semua hasil politik daerah mereka. Jalanan tidak dihiasi bendera partai tertentu ataupun anggota parlemen yang cari muka. Saya menemukan easy life di sini, hidup tidak perlu berpergian jauh, fasilitas sekolah dekat, pasar untuk kebutuhan sehari – hari juga ramai. Keamanan terjaga, maklum daerah perbatasan. Rumah sakit dengan ikhlas memberikan fasilitas oksigen bagi yang membutuhkan dengan cuma – cuma. (bersambung..)
Great writing, dear
Thanks Josie
Hi im going to fly to ladakh on december, and im considering to camp and hiking personally without any travel agency, is there possible to camping in leh on december? need your advice, thanks 🙂
ven0ac