Kami sadar bahwa kami sampai di Muktinath kira – kira pukul 4. Karena waktu yang sempit, kami hanya istirahat di kamar sebentar kira – kira 30 menit, lalu melanjutkan perjalanan ke kuil suci Muktinath. Nafas sudah tersengal – sengal, teringat teori bahwa makin di atas oksigen makin tipis. Suhu juga sudah menunjukkan 3 derajat. Akhirnya kami memesan masala tea sebelum keluar Hotel. Masala tea, adalah teh khas Nepal, teh + susu + cinnamon + rempah – rempah lainnya. Rasanya mantab untuk menghangatkan tubuh.
Kuil suci Muktinath berada di ujung jalan, kami masih harus jalan menanjak lagi, dan harus naik tangga lagi. Rasanya saya sudah trauma lihat tangga. Banyak kuda poni yang disewakan jika mau ke kuil suci Muktinath tanpa berjalan kaki. Tapi kami apalah.. cuma bisa mengandalkan kaki.. slowly.. slowly… jalan tersengal – sengal, naik 3 anak tangga, lalu berhenti, naik lagi 5 anak tangga.. lalu berhenti lagi. Umur baru 30 tapi renta sekali ini raga. But Finally… We Made it!!
Kuil suci Muktinath adalah kuil untuk beragama Hindu dan Buddha. Kedua agama menganggap suci kuil ini, mereka juga mempunyai cerita sendiri mengenai sejarah dan mitos dari kuil ini. Di agama Hindu, kuil ini merupakan kuil untuk menyembah dewa Whisnu, sang dewa penyelamat, juga menyembah dewa Brahma, sang pencipta.
Di agama Buddha kuil suci Muktinath merupakan kuil yang dikunjungi oleh Guru Rimpoche (Padmasambhava), orang yang pertama kali memperkenalkan Buddhism ke Tibet. Saat tiba di Muktinath, Guru Rimpoche terpesona dengan keindahan tempat ini dan memutuskan untuk melakukan meditasi, sampai akhirnya terciptalah kepercayaan Tantric Mahayana Buddhism.
Kuil suci Muktinath mempunyai 5 unsur lengkap kehidupan menurut kepercayaan Hindu dan Buddha : Api, Air, Langit, Tanah, dan Udara. Di kuil ini terdapat api yg menyala 24 jam. Dan terdapat 108 mata air yang dikeramatkan. Umat Hindu India banyak yang datang ke sini untuk berziarah.
1 hari setelah saya tiba di Jomsom, ternyata tidak ada penerbangan Pokhara – Jomsom karena cuaca buruk. Nah saat itu juga ada 42 peziarah asal India yg akan ke Muktinath. Dan mereka semua menggunakan helicopter charter untuk sampai di Muktinath, dengan membayar 1700USD per-orang. Luar biasa. Jadi pada pagi hari kira – kira jam 7 pagi, mereka semua sudah siap – siap ke kuil Muktinath lagi. Berbagai kalangan, kaya, miskin, tua, muda.. semua semangat naik ke atas. Dari yang berjalan masih semangat, sampai yang perlu ditandu, juga yang memutuskan naik kuda poni. Saya tidak kuil Muktinath lagi pagi itu, karena saya harus kembali ke Jomsom dan melanjutkan trekking ke Marpha.
Muktinath – Jomsom – Marpha
Bus dari Muktinath – Jomsom dapat dibeli on the spot mulai pagi hari kira – kira jam 8. Nepal termasuk negara yang memberlakukan perbedaan biaya terhadap turis dan local people. Saat itu saya harus membayar 750rs sementara guide kami Sagar hanya membayar 250rs. Kami berpisah sementara dengan teman kami dari Belgia karena mereka memutuskan untuk trekking down kembali ke Jomsom.
Muktinath – Jomsom menggunakan bus hanya memerlukan waktu 1.5 jam – 2jam. Lumayan cepat, padahal kalau trekking malah 2 hari. Sesampainya di Jomsom kami melewati satu monastery lagi (saya lupa namanya), lalu langsung ke Tengboche hostel menaruh barang bawaan, had a masala tea again, then continue trekking to Marpha, it takes around 1.5 hours.
Marpha, saya tau tempat ini dari novel Little Princess, saat itu Connor (sang penulis) diberitahu oleh anak pantinya untuk menyempatkan diri ke Marpha, dan membawakan apple untuk dia. Marpha terkenal dengan apelnya, mungkin kalau di sini seperti kota malang ya.
Trekking ke Marpha menurut saya ini lumayan sulit, memang trekkingnya tidak menanjak, tapi jauuuhhh… dan kami berjalan against the wind. Tidak jarang kami diterpa angin kencang berdebu, lebih berdebu dibandingkan di Jomsom – Muktinath. Bus juga lalu lalang di sini. Sedihnya lensa kamera saya kemasukan debu dan tidak bisa dibuka. Saya jadi sulit mengabadikan desa Marpha seperti apa.
Marpha memang cantik, sebelum memasuki desanya, kita akan disuguhi ladang – ladang apel dan millet. Nampak hijau diantara bukit – bukit tinggi nan gersang. Desa Marpha terlihat lebih bersih dan rapih jika dibandingkan dengan Jomsom. Jalan di Marpha lebih sempit dan rata – rata penduduknya menjual cinderamata dan selalu memanggil – manggil kami untuk membeli.
Pantas saja Connor di dalam bukunya Little Princess, selalu berhasil menemukan orang tua dari anak – anak di panti asuhannya, karena hampir semua settlement di Mustang Area itu tidak terlalu besar. Dan pastinya kepala desa mengenal semua penduduknya.
Saat saya berkunjung ke Marpha, saat itu sedang tidak panen apel, jadi kebunnya tidak ada buahnya. Tapi jangan khawatir, apple pie, apple juice banyak tersebar di pelosok desa. Silahkan icip2. Oh iya, saya juga sempatkan membeli Marpha Brandy. Saya beli di Marpha 750rs, sebotol besar dan tidak ada yang sanggup menghabiskan. Minum 1 gelas saja, kepala sudah mutar – mutar.
Perjalanan saya di Muktinath kami akhiri dengan tegukkan Marpha Brandy di Pokhara, beriring dengan ulang tahunnya Mba Maria yang ke 50, dan ditemani teman – teman yang baru saja datang dari Jakarta. You are great Mba… di umur yang setengah abad dan sanggup trekking sampai Muktinath.. mudah – mudahan saya panjang umur dan bisa mengulang kembali seperti mba ya.. Amiiinn…
ye07jj
7ftq80
gkjze0
7xf7pd
mpiy24
of0ozx