Disamping KEPO, Manusia itu selalu berkeinginan untuk fulfill their life dari hal – hal yang tidak mereka dapatkan in their daily routine. Katakanlah seorang kaya dari dunia barat setiap hari pergi kerja naik kereta cepat, dengan ketersediaan informasi kedatangan nyaris tidak pernah salah. Saat mereka menentukan tujuan untuk berlibur ke luar negeri, mereka mencari sesuatu yang slow, easy going, bahkan kehidupan yang sangat bertolak belakang dengan kesehariannya. Contoh, mereka memutuskan untuk ke Indochina dan sangat excited naik Tuk Tuk, atau naik Bajaj di India. Hidup dengan penduduk local yang masih sangat traditional untuk kesehariannya. Mereka tidak masalah tidur di atas ranjang kapuk di pegunungan Himalaya, atau bahkan mencoba untuk membajak tanah dengan kerbau di desa Asia. Lain hal nya dengan orang – orang kelas menengah di Asia, sebut saja Indonesia, Jakarta dengan segala semrawut jalanannya, tiap hari naik ojek, untuk melalui macet, tidak jarang juga naik bajaj untuk sepulang dari pasar untuk masuk komplek. Giliran mereka mendapatkan jatah liburan ke luar negeri, tidak jarang mereka lebih memutuskan ke Jepang supaya bisa merasakan Shinkansen, atau tidur di hotel mewah dan menikmati luxury spa. Mereka akan berpikir 10x, bahkan lebih sering menolak jika diajak pergi ke negara yang hampir sama dengan kehidupan mereka sehari – hari.
Intinya adalah mereka ingin melihat sesuatu hal yang tidak biasa bagi mereka, mereka ingin mempunyai experience yang berbeda in daily life.
Dengan pemikiran yang sama, kita bisa lihat banyak sekali turis yang ingin juga melihat suku – suku di pedalaman, bagaimana mereka ingin sekali pergi ke Mentawai, melihat Hmong Village di Vietnam Utara, Inca di Peru, atau Karen di Thailand. Kenapa ? karena mereka unique, mereka tidak ada di kehidupan keseharian kita. Hal – hal inilah yang akhirnya dijadikan object pariwisata di beberapa negara untuk mendongkrak pendapatan di negara tersebut.
Thus would be naif when we as tourist always want them to stay the same year by year, even this world already modernized and easier in every aspect, we always want them to not changed the way of their life to show us the genuinity and originality. We always want them to live in traditional way, neither taste the experience in globalization era when people starts to connect to each other. In some cases, they are not even taught to have more education for them to grow up.
Kasus inilah yang terjadi di Hill Tribe Village di Thailand. Jangan pernah berfikir ketika memasuki Hill Tribe Village, kita akan bertemu mereka yang sedang bertani, ataupun melakukan aktifitas keseharian mereka.
In Hill Tribe Village, all the villagers don’t live in their real life. The government chooses some families to work in artificial area, they will be dressed in their traditional clothes, weaving a fabric in front of tourist, or even sell some souvenirs which are not produced by themselves. And the only purpose is to get some revenue from the visitor.
More than 15 families will get monthly salary from their government in this village by showing their “exhibition”. But if you see deeper not even their child attend the compulsory school in this artificial village, nor they are taught to speak English, though all visitors are mostly from foreign country. And you will see, I am sure within this way for the next 20 years, they will stay the same.
Hill Tribe Village dibangun di beberapa tempat di sekitar Chiang Rai dan Golden Triangle area. Sangat dekat dengan beberapa object wisata yang terkenal. Hal ini sangat menguntungkan untuk para tour operator untuk menghemat waktu saat mengadakan daily tour.
Untuk masuk ke Hill Tribe Village, jika di dalamnya terdapat Suku Karen, maka kita diwajibkan membayar 300 Baht untuk entrance fee. Kalau dibaca dari keterangan future projectnya, uang tersebut akan didistribusikan kepada all villagers di tempat asli mereka di atas gunung. Salah satunya untuk penyediaan fasilitas, juga pendidikan mereka. Semoga saja benar.
Saat kunjungan saya ke sana, saya tidak menggunakan guide, guide biasanya tersedia jika kita mengikuti program daily tour, dalam tour tersebut akan dikunjungi beberapa tempat dalam 1 hari, biasanya pilihanny adalah Golden Triangle, Hill Tribe Village, White Temple, Mae Sai, Hot Water Spot. Memang akan lebih baik untuk menggunakan guide jika ingin research ke sini, karena semua penduduk di desa tidak ada yang dapat berbahasa inggris. Lain hal jika pergi ke sana hanya untuk foto – foto 🙂
Lalu apakah worthed untuk berkunjung ke sini? Walaupun hill tribe ini kontroversial, banyak turis beranggapan bahwa ini adalah tourist trap, karena overall di dalamnya itu hanya bagaikan pasar kecil. Mereka hanya berjualan souvenir dengan berpakaian lengkap dengan kostum mereka. Kalau ekspektasinya bagaikan living with locals.. no man.. you really go to the wrong place. But if you go with English speaking guide, it would be better for you to have some detail information with their culture, belief, or daily life. You may not see in real within your eyes in there, but you will get the explanation from your guide. Please remember, all villagers don’t speak English.
Ada hal yang lucu saat saya sengaja keliling di desa Akha, seorang nenek mengajak saya ke bangunan terbuka kemudian dia menunjuk kepada box sumbangan. Saya pikir beliau memang meminta sumbangan. Lalu saya tunjuk tunjuk sebuah batang bambu yang saya kira itu untuk memasak. Tidak lama kemudan si nenek menyuruh saya duduk, kemudian beliau menghentakkan batang bambu ke kayu besar di bawahnya. Tung.. Tung.. Tung.. dan ternyata semua penghuni Akha Village berdatangan, laki – laki, perempuan, tua, muda.. lebih banyak tua nya sih.. saya jadi ngga enak. Kemudian mereka melakukan pertunjukan memainkan alat musik dengan berpakaian lengkap adat Akha. 10 menit berlalu, kemudian mereka bubar, dan tinggalah saya diharuskan memasukkan uang ke kotak sumbangan seikhlasnya.
Semoga berkah ya nek, panjang umur, sehat – sehat.. Penghuni Akha Village nyaris semuanya nenek – nenek yang sangat riang. Stay Happy Grandma.
g10ova
czggbv
cqtbp2
g5xcr6
yf4rgz