Kami akan sampai di Tibet dengan menggunakan kereta. Memulainya dari Chengdu – Xining lalu Lhasa. Kami semua 14 orang. Kami sudah menyiapkan visa China, dan permit Tibet sebelum memasuki Lhasa. Menaiki kereta ke Tibet ternyata menjadi pengalaman tersendiri bagi kami. Qinghai Railway Tibet merupakan salah satu jalur kereta tertinggi di dunia, menembus pegunungan Himalaya hingga ke ketinggian 5000an meter, dengan 48 jam perjalanan. Untuk book tiketnya sendiri ternyata cukup sulit, karena kereta hanya bisa di book 30 hari sebelum departure, dan tidak available setiap harinya. Minggu pertama mungkin hanya 3 schedule yang dibuka, dan begitu seterusnya. Karena kami 1 grup cukup banyak, jadi tidak semua mendapatkan soft sleeper (gerbang paling nyaman sepenjuru kereta). Kami terbagi 5 orang di softsleeper dan 9 orang di hardsleeper.
Keretanya bagi kami cukup nyaman, gerbong bersih dan beberapa kali disweeping untuk pembuangan sampah. Terdapat listrik untuk charging, semua bisa mengakses gerbong restorasi untuk pesan makanan, walaupun gerobak dorong juga dijajakan di jam tertentu. Hot water juga selalu tersedia di belakang gerbong. Kenyamanan toilet ? Saya yang mendapatkan seat di hardsleeper bisa mengkategorikan toilet bersih dengan tombol flush, tombol call jika terjadi sesuatu. Di hardsleeper, kami menggunakan toilet jongkok. Tissue kering tersedia, namun saya pribadi lebih sering membawa tissue sendiri.
Pemandangan tercantik menurut saya pada saat kereta telah melewati Xining, setelah melewati fase pembantaian alamiah, Altitude Sickness. Kereta kami mencapai ketinggian 5000an meter pada saat malam kedua jam 3 pagi. Jam kritis di mana nyaris semua penduduk gerbong merasakan sakit kepala hebat, mual dan muntah – muntah. *termasuk saya. Mungkin ini altitude sickness terparah yang pernah saya alami. Saya bisa merasakan otak saya tidak bisa bekerja sesuai perintah. Mungkin rasanya seperti Professor X saat mencari para mutan di serial X-men. Setiap mencoba memejamkan mata, terlalu banyak halusinasi yang tetiba meneror pikiran, dan semua menjadi hiperbolis. Aneh memang tapi itu yang saya rasakan. Ditambah lagi sakit kepala dan mual. Kereta bergerak sangat pelan, menanjak dan menanjak. Tidur tidak lagi menjadi nyaman. Diamox? tentu saja saya minum, tapi siapa sangka Diamox yang saya minum terlalu jauh jangka waktunya sebelum kereta benar – benar berada di ketinggian 5000.
Di malam itu, sebagian besar dari kami bertemu di depan toilet, ya muntah, ngapain lagi selain meeting di depan toilet ?? Tidak hanya turis seperti kami yang terkena Altitude Sickness, orang China Mainland pun sama. Di kereta sebenarnya dibagikan selang oksigen, jadi ada beberapa spot supply oksigen, kita bisa colok selangnya dari sana. Tapi apa mau dikata ternyata yang jaga gerbong kami, terlelap dalam tidurnya. Entah tidur, entah pingsan. Karena ketika pagi hari ditemui, diapun sedang terpasang selang oksigen di hidungnya.
Namun disamping kejadian mencekam malam itu, pemandangan di luar sana sangat indah. Terutama setelah kami melewati fase altitude sickness di pagi hari. Beberapa kali kereta melewati kipas besar pembangkit listrik, rerumputan terhampar sangat luas bertaburan domba dan kerbau. Lebih jauh memandang ke atas, terdapat snow peak mountain yang dibawahnya berhias prayer flag warna warni. Beberapa kali kereta kami memasuki terowongan menerobos bukit. China memang luar biasa, dia bisa menyulap remote area menjadi salah satu daerah yang dilewati kereta gunung dan jalan – jalan mulus tak berujung. Kami tentu saja sudah tidak sabar untuk keluar dari kereta, “2 jam lagi”. Matahari sudah bersinar memberikan efek golden sunrise di puncak – puncak gunung di atas 6000 meter. Kereta semakin turun, melandai.. oksigen bertambah. Kami yang terkena penyakit ketinggian berangsur pulih. Udara menjadi lebih dingin karena beberapa gerbong terbuka bagian belakangnya. Kami berkemas. Dan akhirnya, kereta berhenti.
TASHI DELEK, WELCOME to LHASA!!
w0j72t
hstbd7
rbpoae
zvjvmr
ns1ywh