Menginjakkan Tibet pertama kali rasanya campur aduk. Turun dari kereta, mulut tidak bisa mingkem, senyuumm terus. Astaga, ini kota terbesar di ketinggian 3800 meter di atas permukaan laut. Bisa berada di ketinggian ini setelah 2 malam dengan altitude sickness ternyata saya masih bisa survive!! Bahagia seperti mimpi, kagum atas kemegahan Lhasa yang notabene ngalahin Jakarta. Saya pernah ke beberapa kota di ketinggian yang sama, tapi tidak se-istimewa ini. Jalanan luas mulus, semua sudutnya tertata rapih, bersih, mobil – mobil mewah berkeliaran. Gedung – gedung berlantai 5 menjulang, pohon – pohon menguning dipinggir jalan. Saat saya melihat tiang pemerintah Republik Rakyat Tiongkok persis didepan stasiun kereta Lhasa, barulah saya terbangun dari semua kenyataan..
This is not Tibet, This is not Tibet as i knew from all the stories i heard in Leh, in Dharamsala, in Mustang, in Jharkot, in Norbulinka Institute. Tibet now is part of China. This is China, like Chengdu, like Beijing, like “CHINA”.
Mobil kami akhirnya melewati sang Icon, Potala Palace, Istana Dalai Lama termegah seantero Himalaya. Warna putih yang sangat bersih, megah, berpadu dengan merah maroon di beberapa puncaknya. Pada hari itu para Tibetan banyak yang sedang melakukan Kora, berjalan mengelilingi temple atau stupa sebanyak 108 kali, sambil mengucap mantra Om Mani Padme Hum. Di tangan mereka memegang Tibetan Praying wheel, dan Malla beads. Sama seperti para Tibetan Refugee yang berada di Budhanath Nepal, berjalan perlahan mengelilingi stupa, berdoa, mengenyampingkan kegiatan duniawi sehari – hari. Kebanyakan dari mereka adalah para orang tua, kakek – nenek memaki baju khas Tibetan, berjalan pelan diantara biksu berseragam maroon,, memutarkan praying wheel searah jarum jam, berputar, beberapa dari mereka, bersujud lalu berdiri lagi, melangkah 1 kaki, lalu bersujud lagi, berulang, terus.. sepanjang jalan, mensucikan pikiran dan raga mereka, mendekatkan diri atas dasar kepercayaan yang mereka yakini.
Saat saya melihat puncak Potala Palace, berkibar bendera China. Kekuasaan Potala telah tiada. Saya bisa menyimpulkan bangunan megah ini adalah Museum, bukan Royal Palace, bukan Administrative Office, namun sesaat saya melihat kerumunan orang Tibet, Kora mengelilingi Potala Palace, masih ada kepercayaan yang masih disalurkan, disanjung, dijinjing, ke tempat yang lebih tinggi, megah, mengalahkan bangunan putih merah yang tersohor itu. Namun bendera merah di atasnya ternyata lebih kuat dari mantra yang mereka ucap. Entah sampai kapan.
Tibet bukan memberontak ingin memerdekakan diri dari China, tapi China lah yang merampas kedaulatan dan menghilangkan identitas para Tibetan dari tanah kelahirannya.
Mobil kami melewati kawasan niaga. Di Lhasa, orang Han Chinesse sudah bermigrasi ke sini sejak puluhan tahun silam. Hampir semua toko di Jokhang – kepunyaan mereka, karyawan pemerintahan, bank, dan semua transport didominasi oleh orang Han. Mereka memang pekerja keras, barang – barang China mainland sudah mulai masuk pasar Tibet Lokal. Swalayan? tentu saja China akan menyuplai kebutuhan orang Han di gedung – gedung berlokasi strategis, mulai makanan, trekking gear, toileteries, pakaian, souvenir, bahkan, Tibet sekarang tidak membutuhkan turis asing, cukup orang Han sebagai turis domestik, maka Ekonomi di daerah otonomi khusus ini akan tetap berputar.
Hotel kami berada 10 menit walking distance antara Potala Palace dan Jokhang Temple. Yang membuat surprise, Receptionist, dan Kepala Chef, serta staf – stafnya adalah orang Nepal. Orang Nepal, bisa bekerja di Tibet, dan mendapatkan gaji yang lebih baik dibandingkan di negaranya sendiri. Jika saya melihat orang Nepal di Malaysia, mungkin biasa, tp ini Tibet. Para Tibetan yang berada di Nepal saja, tidak bisa kembali ke Tibet, apalagi mendapatkan pekerjaan layak di Nepal. Namun nasib lebih baik memihak pada para pemegang paspor hijau dengan lambang Mt. Everest itu. Sepertinya, China memang akan memperluas wilayahnya ke arah selatan, mengambil kekuasaan Land Locked Country yang sedang mengidamkan perubahan fasilitas di segala lini, hanya China yang bisa.
Perjalanan ke Tibet untuk saya sendiri, tidak bisa hanya dikategorikan sebagai perjalanan wisata. Perjalanan ini lebih dari sekedar dari pemikiran tatanan kehidupan, filosofi, keyakinan, ambisi, sejarah, integritas dan perjuangan. Sisi religius Tibet yang dilucuti dari tanah kelahirannya, pemandangan indah sejauh mata memandang, puncak – puncak himalaya tanpa batas, kandungan mineral di atap dunia, justru menjadikan para Tibetan sebagai “tahanan” di tanah mereka sendiri. Tidak banyak yang mengetahui Tibet dan perjalanan mereka, semua political issue dirahasiakan the Conqueror. Tapi kamu harus tau, kamu harus tau cerita dari tanah yang “tercuri”, sebelum kamu menikmati semua keindahan di Tanah Tibet. Sebelum kamu menapakkan kaki dan mendengar mereka berkata “Dear God, I come to you as humble as i know”.
0hzxwk
vwktg4em
6h2ksqc
vjguam5
zng00ax
ehdj9s
ig68jw
pc05a3
h8gom5