Kami baru saja menyelesaikan perjalanan Tibet – Nepal Overland. Perjalanan yang tidak bisa dikategorikan sebuah backpacker tour, tp sebuah survival adventure. Many stories, many sceneries to build another experience to reach some valleys over 3000 meters, to see the highest point on earth, to mark ourselves that we are more than grateful to pass all the journey.
it’s always further than it looks. It’s always taller than it looks. And it’s always harder than it looks.
– The Great Himalaya
Saat sekolah menengah saya dulu, guru geografi saya pernah bilang, Everest itu kakinya menginjak 3 negara, Nepal – India – Tibet. Saat itu saya cuma manggut – manggut aja. Sekarang saya bisa protes, sejak kapan Everest menjangkau India ? Tapi di kepala bocah 13 tahun, mendapatkan informasi gunung yang bisa melingkupi 3 negara itu luar biasa, padahal informasinya ngawur.
Mengexplore Tibet dan Culture di pegunungan Himalaya bagi saya tidak mungkin dijalankan sendiri, walaupun saya juga tidak pernah berharap mempunyai seorang travelmate. Pikiran saya saat itu adalah hanya membayar seorang guide kemanapun saya pergi, namun seiring berjalan waktu, ternyata saya mendapatkan partner travel yang memang sama – sama interest di Tibetan Culture. Dari ceritanya, ternyata dia lebih aneh lagi, di umur saya yang dibohongi si guru yang asal atas sentencenya tadi, dia malah mencari informasi pergi ke Everest namun lewat Sri Lanka. Mungkin sewaktu SMP dulu, SriLanka berada di Darjeeling India. Katanya sih basicnya suka hiking, tapi Everest aja ngga tau ada dimana. But after all, we are now have same experiences in the Himalayas.
Nepal was the first, and the stories begin in this landlocked country. Saya bukan seorang yang suka naik gunung, bukan mountain runner, saya lebih suka shopping di mall dari pada pergi ke gunung. Jalan – jalan ke gunung Indonesia aja saya tidak pernah. Tapi saat itu saya memutuskan untuk pergi ke Mustang Area, hiking? ngga lah.. naik pesawat dulu.. ada pesawat ngapain capek2 jalan.
Saya pergi di Mustang Area, by walk, 5 hari. Melihat pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Dataran kering, dengan ribuan cerita mitos dewa dewi akulturasi Hindu – Budha. Angin Dingin sepanjang jalan. Sampai akhirnya saya menemukan penduduk dengan muka mongoloid, berpipi merah, tinggal di rumah – rumah kotak berbatu, beratap tumpukan kayu seperti kayu bakar.
A Refugee, Sang pencari suaka yang terperangkap di tengah gunung, hidup dengan domba – dombanya, dan garapan kebun millet sepanjang mata memandang.
Tibetan Refugee, pencari suaka atas identity yang terpaksa dihapus dr tanah kelahirannya, membawa satu cerita yang sangat menarik selama 3 tahun ini. Setahun kepulangan saya dari Mustang, akhirnya saya dan travelmate saya itu memulai perjalanan di Himalaya dengan mengunjungi beberapa refugee’s settlement di Nepal. Kami melakukan beberapa perjalanan ke beberapa region, melihat the world from other side. Mountain’s Life. Lalu mencoba perjalanan ke Everest sisi selatan, untuk memahami akulturasi Tibetan Budhism. Lalu mengadakan perjalanan ke Ladakh India, ke tempat diperbolehkannya culture Tibetan Buddhism berkembang tanpa batas, (see my post here: https://stalkingnina.com/2017/11/04/india-ladakh-a-journey-to-the-land-of-lamas/ ). Merasa kurang puas dengan informasi sisi politik dan ekonomi, pada akhirnya kami mencoba mempelajari Tibet dari sisi pandang Tibetan Administration. Pergilah kami ke kota bernama, Dharamsala, Himachal Pradesh, India.
Tahun 1949 China menginvasi Tibet. Pengalihan kekuasaan disertai dengan kebijakan dan tindakan yang bertujuan untuk menghapus identitas Tibetan dan cara hidup traditional mereka. Lebih dari jutaan Tibetan meninggal karena invasi, korban kekerasan, kelaparan, pembunuhan hingga camp untuk kerja paksa. Harta spiritual dan material dicuri, dibakar, dirusak and hilang selamanya. Hutan – hutan di Tibet dimusnahkan dan danau suci mereka terpolusi. Tibet akhirnya menjadi basecamp militer yang sangat besar dan situs besar Nuklir kepunyaan China.
Teror dari pengalihan kekuasaan dibawah pimpinan Mao Zeadong dan kebijakan kependudukan dari kaum pendatang China membuat Tibet menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Keberlangsungan hidup, budaya dan identitas Tibetpun terancam. Teror yang dialami para Tibetan memaksa mereka pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Dan sebagian besar mereka meninggalkan Tibet dengan berjalan kaki menembus pegunungan Himalaya, dengan bekal yang sangat sedikit, tetapi mereka membawa pahit dan manis memory dari tanah Tibet as their glory.
Mereka menyebutnya gerakan antiviolence Dalai Lama, yang mencoba menerima dan membimbing semua pengikutnya agar tetap solid di tanah pinjaman yang menjadi center dari Tibetan Culture. Dharamsala memang sangat cocok untuk para pengungsi Tibet. Kawasannya berbukit, dan dikelilingi oleh snow peak mountain. Sesekali mereka bisa menjangkau ketinggian 4000an untuk menikmati pegunungan seperti di tanah leluhur mereka. Tidak hanya kawasan sekelilingnya yang hidup karena turis keluar masuk sehingga membantu sektor ekonomi mereka, Tetapi keberadaan sang guru spiritual Dalai Lama 14th juga menjadi penentram hati para pengungsi yang jauh dari kejayaan yang pernah mereka miliki.
Namun memahami Tibet – China, tidaklah adil jika tidak memandang dari 2 sisi. Terasing selama 69 tahun apalagi dengan tanah mereka yang diduduki oleh pemerintah China, pastilah akan banyak sekali terdapat perubahan. Tibet yang sekarang sudah menyandang status Autonomous Region seharusnya lebih hidup sejahtera, walaupun masih menjadi pertanyaan besar : di tanah yang sangat luas itu, para Tibetan yang berada di pengasingan tidak dapat kembali ke tanah leluhurnya, dan Tibetan yang berada di Tibet sekarang ini, tidak bisa keluar dari negaranya.
Akhirnya kami memutuskan untuk melihat Tibet langsung, dengan banyak pertanyaan here and there. Mengungkap tempat indah yang selalu mereka bilang selama di pengungsian, tempat para kambing gunung berlarian dihiasi dentuman gendang wihara Buddha di pagi hari. Tempat Para Guru terlahir kembali meneruskan sosok bijaknya. Tempat bendera dengan 5 element hidup menari tertiup angin. Tempat di mana para gunung tertinggi dunia duduk manis menghias langit. Tempat yang mereka namakan Negeri Atap Dunia.
lb1339
vbqkbq
vkyx6z
sgis3h
gizz2z